Bagiku, nggak kenapa anak beasiswa punya gadget canggih selama itu digunakan untuk mendukung proses study-nya. Nggak dimungkiri, teknologi saat ini begitu menunjang informasi untuk belajar. Tapi jika salah digunakan, maka akan menimbulkan kesenjangan social ketika uang beasiswa tersebut dipakai untuk mengubah gaya hidup.
Mahasiswa pinter atau bego pasti ngertilah perbedaan gaya hidup antara temen mereka yang menerima beasiswa tapi hidupnya tetep sederhana, dengan penerima beasiswa yang dananya dipake buat ngehedon.
Gausah adu komentar, kalian sendiri juga sering ngeliat dan tau beda antara mahluk-mahluk di atas kan?
Saranku, ketika temen-temen ngeliat makhluk-makhluk seperti di atas, segera laporkan ke pemadam kebakaran, biar disemprot pake gas C02.
Soal iri atau dengki, gimana nggak dengki, ketika mahasiswa yang notabene masih mampu dibiayai orang tuanya, kemudian dapet beasiswa, tapi duit beasiswanya dipake buat kebutuhan yang nggak relevan sama study-nya.
Kecuali ya, kecuali mahasiswa itu juga bekerja di tempat lain, dan punya kesibukan di tempat lain untuk menunjang hidupnya.
Realita yang aku hadapi.
Aku punya temen, dia penerima beasiswa utusan daerah. Setiap bulan yang aku tau dia menerima beasiswa sebesar 8 juta rupiah dari pemerintah daerahnya. Kemudian dana itu dia apakan? aku nggak tau duit itu dipake buat apa, yang jelas salah satu temenku itu memperlihatkan (cenderung memamerkan) kehidupan yang nggak semestinya orang-orang dari kalangan nggak mampu. Setiap beberapa bulan selalu ganti gadget canggih, pakaiannya necis & bermerk, traveling ke mana-mana, dan sebagainya. Apakah hal itu perlu untuk study-nya? Apakah dia juga bekerja paruh waktu? Dan apakah dia juga berprestasi? Jawaban untuk semuanya: Nope.
Semoga dia nanti nggak jadi pejabat, kalo jadi pejabat, ancur dunia persilatan!
Okesip.
Biar nggak jadi perang mulut, kayaknya model beasiswa bisa diubah dari memberikan dana, menjadi memberikan fasilitas yang benar-benar bisa menunjang study-nya. Entah itu gadget yang relevan, biaya pendidikan yang dikelola institusi, dan biaya hidup bulanan.
Perihal biaya hidup bulanan, mungkin ada baiknya sebelum penerima beasiswa menerima haknya, dilakukan proses interviewing terhadap sumber dana yang dia terima selain beasiswa ini. Apakah dia bekerja, dapet kiriman orang tua, atau sumber dana lain. Biar penerima beasiswa ini terkelompokkan dengan baik.
Dan tentunya perlu kesadaran dari calon penerima beasiswa, kalau situ atau orang tua situ mampu, kenapa nggak merekomendasikan rekan yang lebih berhak? Bukannya hal itu lebih bijak mendukung hak pendidikan yang merata?
Terlepas dari sikap iri atau dengki, kita sama-sama sadar bahwa masih banyak orang yang lebih berhak mendapat pendidikan yang layak. Dan bagi kamu yang merasa masih mampu, coba dipikir ulang, seharusnya mendapat beasiswa itu menjadi sebuah ketakutan tersendiri, karena tanggung jawab di akherat akan lebih besar hisab-nya dibanding di dunia. Anjay! Bawa-bawa akherat.
Kok serius banget sih, nyet?
Ehem, kira-kira begitu pendapatku. Mungkin ada beberapa pendapat yang kurang berkenan atau subjektif. Ya, namanya juga opini. Temen-temen pembaca punya pemikiran lain? Silakan disampaikan dengan baik.
Mawas dirilah, negara ini sangat butuh orang pintar yang jujur. Amati dan laporkan!
Good Mas.
ReplyDeleteSemoga menjadi inspirasi dan mereka sadar
Siap.
DeleteTerimakasih kawan...